Membuat sesaji atau uborampe dalam upacara selamatan untuk mendoakan Ibu dan janin agar selamat dan sehat.
Materi uborampe/sesajen kali ini berupa:
· Nasi Punar (nasi gurih berwarna kuning), lauk daging, jeroan, mata Kerbau atau mata Sapi dan Sambal Goreng.
· Kue Apem (tepung beras yang ditambah sedikit ragi dan gula merah secukupnya)
· Beberapa macam Ketupat: Sinta, Sidolungguh dan Ketupat Lawar.
Setelah kandungan genap berusia empat bulan menurut hitungan kalender Jawa, maka diadakan upacara ngupati atau nyipati. Ngupati berasal dari kata kupat yang merupakan sajian utama pada slametan ini, yakni penganan dari beras yang dibungkus daun kelapa muda (janur) berbentuk jajaran genjang kemudian direbus seperti membuat lontong. Selain itu juga berasal dari kata papat yang artinya empat
Penggunaan kupat sebagai sajian pokok slametan ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan tentang karakteristik si jabang pada umur 4 bulan dan makna kupat itu sendiri. Konon, si jabang (bayi) dalam kandungan empat bulan yang disebut bulaer putih, mendapatkan sifat-sifat kemanusiaan dan sekaligus roh yang jumlahnya empat. Oleh karena itu, sementara orang kerap menyebut upacara ini nyipati (memberi sifat). Sementarabeberapa makna dari ketupat adalah kupat kang baku papat (yang pokok adalah empat), yaitu :
Sifat nafsu yang empat
Mata angin yang empat: lor, kidul, wetan dan kulon.
Ajaran agama yang empat : syareat, tarekat, hakikat, ma’rifat (Kalimat tauhid, ma’rifat, Islam);
Sedulur 4 (kekawah, ari-ari, darah dan tali pusar), malaikat 4 (Jibril, Mikail, Isrofil, Ijrioil).
1. Sejarah Munculnya Tingkeban
Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo.
Tingkeban menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya. Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi tidak pula membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu, mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah, dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Murbeng Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan, hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa khususnya di daerah Ponorogo dan sekitarnya.
2. Perlengkapan Tingkeban.
Dahulu masyarakat Ponorogo mengenal tiga teradisii yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari tiap-tiap ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan,calon orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa. Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Tabel 1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa
No
|
Nama Hari
|
Neptune
|
No
|
Nama Pasaran
|
Neptune
|
1
|
Akhad
|
5
|
1
|
Pon
|
7
|
2
|
Senin
|
4
|
2
|
Wage
|
4
|
3
|
Selasa
|
3
|
3
|
Kliwon
|
8
|
4
|
Rabu
|
7
|
4
|
Legi
|
5
|
5
|
Kamis
|
8
|
5
|
Pahing
|
9
|
6
|
Jum’at
|
6
| | | |
7
|
Sabtu
|
9
| | | |
Hari-hari yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon, Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8 jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12 dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau piranti juga sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan tanpa maksud. Dari sumuanya memiliki werdi atau makna sendiri-sendiri.
Tabel 2. Piranti Ritual Tingkeban
No
|
NamaRitual
|
Waktu Seharusnya
|
Piranti
|
1
|
Neloni
|
Tiga bulan dari masa mengandung
|
Takir plontang 4 buah
|
Golong 7 buah
|
Jajan pasar
|
Jenang abang
|
Jenang putih
|
Jenangkuning
|
Jenang ireng
|
Jenang sengkolo
|
2
|
Tingkeban
|
Enam bulan dari masa kehamilan
|
Woh-wohan
|
Punar 2 buah
|
Kembang setaman
|
Sesaji dakripin(Suro ganep)
|
Daun dadap srep
|
Daun beringin
|
Daun andong
|
Janur
|
Mayang
|
| | |
Jenang abang
|
Jenang putih
|
Jenang kuning
|
Jenang ireng
|
Jenang waras
|
Jenang sengkolo
|
3
|
Procotan
|
Delapan bulan dari masa kehamilan
|
Jenang abang
|
Jenang putih
|
Jenang kuning
|
Jenang ireng
|
Jenang waras
|
Jenang sengkolo
|
Jenang inthil-inthil
|
Jenang sewu (dawet)
|
Jenang sempuro
|
Jenang kembo
|
Jenang procot
|
Jenang arang-arang kambang
|
Ketupat lepet
|
Upacara tersebut dimulai denga acara kenduri telon-telon yang dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa ngujubne yaitu menjelaskan maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu yang tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah yang penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air putih dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu. Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah semua siap dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk bersanding di atas kain jari yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk ducapkan oleh shohibul hajat.Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani mring sesama,ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu, calon bapak memecah kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir. Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumburujak yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama. Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi ini dilakukan oleh calon ibi dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang berbeda. Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Tabel 3. Jenis Kain dan Maknanya.
No
|
Jenis Kain Batik
|
Maknanya
|
1
|
Sidomukti
|
Kebahagiaan
|
2
|
Sidoluhur
|
Kemuliaan
|
3
|
Truntun
|
Nilai-nilai yang selalu dipegang teguh
|
4
|
Parang Kusuma
|
Perjuangan untuk hidup
|
5
|
Semen Rama
|
Akan lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang sebentar lagi akan menjadi bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
|
6
|
Udan Riris
|
Anak yang akan lahir akan menyenagkan dalam kehadirannya di masyarakat
|
7
|
Cakar Ayam
|
Anak yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
|
Bumbu rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut selanjutnya dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahhn dan dihidangkan kepada para undangan.
Tak lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung melanjutkan prosesi terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah tersaji sesepuh desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”. Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.
3. Rangkaian Acara Tingkeban
1. Pembacaan Ayat Suci Al Qur’an
2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh suami – istri pada orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari 7 sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna, yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas). Setelah dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya keduniawian dan berpenampilan bersahaja.
5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi) dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti tokoh wayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup bulan.
Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8. Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh dengan sehat.
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong (alat tenun tradisional ) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
Mengebumikan ari-ari dalam istilah lain ialah mengubur tali pusar yang sewaktu masih berada di dalam kandungan ibunya menjadi bagian dari tubuh sang bayi. Dalam tradisi Islam, semua yang termasuk bagian dari tubuh manusia dianjurkan dikubur atau dikebumikan, seperti kuku, rambut dan bagian-bagian tubuh yang lain akibat pembunuhan atau kematian seseorang yang tidak lazim. Termasuk tali pusar (ari-ari), darah dan semua yang menyertai kelahiran bayi ini tetap disyariatkan untuk dikubur.
Tradisi mengebumikan ari-ari ini sudah cukup populer dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dahulu yang hingga saat inipun masih tetap dilestarikan. Merujuk pada ketentuan syariat, masyarakat muslim Jawa meyakini bahwa tradisi seperti ini menjadi suatu hal yang sangat utama, ari-ari beserta “batir”nya supaya dikebumikan layaknya orang yang sudah mati. Sebab, mengubur anggota badan atau semua yang termasuk di dalamnya adalah anjuran yang sangat ditekankan demi menghormati (memuliakan) pemiliknya.
Semua anggota-anggota tubuh manusia, sebagaimana di atas adalah organ-organ vital ketika sang bayi berada dalam kehidupan di alam kandungan. Namun atas qudrah dan sunnatullah, di saat sang bayi berpindah dari alam kandungan menuju alam dunia, organ-organ ini akan tidak berfungsi dan mengalami kematian dengan sendirinya. Sehingga organ-organ tersebut ketika masih berada di dalam kandungan ibunya juga memiliki nyawa selama mendampingi anaknya hingga melahirkan. Maka dari itu, wajar bila masyarakat memperlakukannya sebagaimana manusia, yakni dengan mengebumikan atau menguburnya.
Adapun pelaksanaannya ialah seperti proses pemakaman, namun dalam pengebumian ari-ari ini, ditambah dengan pemberian kunyit, bunga, dan lainnya. Terkadang ditambah pula dengan pemasangan lampu, lilin dan dimasukkan ke dalam “takir”. Untuk anak laki- laki sebaiknya di letakkan di sebelah kanan rumah, dan untuk anak perempuan sebaiknya di lakukan di sebelah kiri rumah. Pemberian kunyit dan bunga di maksudkan agar di daerah pemakaman ari-ari tersebut berbau harum dan tidak di makan kucing atau hewan sejenisnya, sedangkan pemberian lilin ataupun penerangan di sekitar pemakaman ari-ari, karena menurut orang Jawa bayi yang masih berumur kurang dari seminggu belum dapat melihat secara kasat mata, sehingga masih suci dan bisa melihat makluk-makluk yang aneh, maka dari itu pemberian penerangan di sekitar pemakaman ari-ari agar bayi tidak rewel dan tidak di ganggu makluk halus.
Sebagaimana syukuran dan barakahan di atas, tradisi “njagong” atau majelis dzikir bagi kelahiran sang bayi juga ditradisikan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Para tetangga dan sanak saudara diundang untuk datang ke tempat orang yang baru melahirkan dalam rangka membaca doa dan dzikir. Acara ini ditujukan sebagai rasa syukur dan ungkapan kebahagiaan atas kelahiran si jabang bayi selaku calon generasi penerus bagi keluarga dan masyarakat sekitar.
Kata “njagong” ini berasal dari bahasa jawa yang berarti duduk-duduk bercengkerama bersama sambil menikmati hidangan. Para undangan datang dalam rangka turut berbahagia atas kelahiran sang buah hati dari orang yang mempunyai hajat. Tuan rumah juga ikut njagongi (menemani ngobrol) para undangannya sambil makan bersama, yang makanan yang disuguhkan tersebut dimaksudkan sebagai sedekah.
Dalam pelaksanaan njagong ini, para undangan beserta tuan rumah diminta untuk membacakan kitab-kitab Maulid Nabi Muhammad saw, seperti al-Barzanji (berzanjian), shalawat Burdah Syaikh al-Bushairi (burdahan), dan kitab maulid ad-Diba’i (diba’an), terkadang pula dibacakan kitab manaqib. Pembacaan beberapa kitab-kitab tersebut dimaksudkan untuk memohon keberkahan kepada Allah melalui kemuliaan Rasul-Nya sehingga semua yang dihajatkan mendapat ridha dari Allah swt. Tradisi ini berlangsung lima hari hingga pada puncak acaranya ialah pada hari kelima, yakni diadakan tradisi “sepasaran”.
Bersamaan dengan lahirnya bayi diadakan selamatan yang disebut brokohan. Selamatan ini diadakan setelah bayi dan ibunya dirawat serta tembuni telah dikuburkan. Adapun sajian yang disediakan pada selamatan brokohan itu berupa :
§ Nasi tumpeng (buceng) dengan lauk-pauknya kulupan (gudhangan), telur ayam, sayur kluwih, ikan asin. Adakalanya dilengkapi dengan panggang ayam.
§ Nasi golong tujuh buah.
§ Nasi kuning (nasi punar). Sajian nasi kuning ini ada sementara orang yang menyediakan dan ada pula yang tidak.
§ Jajan pasar.
§ Bubur merah
§ Bubur putih.
§ Bubur sengkolo yaitu bubur merah yang diatasnya diberi bubur putih.
§ Nasi brok, yaitu nasi yang diberikan di piring dan diberi lauk-pauk gudhangan (kulupan).
Jalannya Upacara.
Setelah sajian tersedia, maka orang yang punya hajat mengundang sanak famili dan tetangga dekat. Selanjutnya apabila undangan telah hadir maka tuan rumah menyatakan kepada tukang kajat (pimpinan upacara) maksud dan tujuan upacara itu. Untuk seterusnya tukang kajat mengikrarkan maksud dan tujuan upacara itu kepada para hadirin yang hadir dalam kenduri itu. Setelah ikrar selesai, lalu diberi doa, pada umumnya doa selamat. Setelah doa selesai, sajian dalam kenduri itu dibagi-bagikan kepada para undangan. Makanan itu sebagian dimakan di tempat itu dan sisanya dibawa pulang. Makanan yang dibawa pulang itu disebut berkat.
Di samping sajian untuk kenduri, ada sajian yang diletakkan dibawah tempat tidur (Jawa : Longan). Sajian itu berupa bubur merah, bubur putih; masing-masing satu takir, dan tumpeng kecil yang puncaknya ditancapi lombok merah. Kemudian di samping pembaringan bayi diletakkan benda-benda seperti kaca rasa, jarum, benang, keris, kain batik baru yang di lipat rapi. Maksud daripada tindakan itu semua adalah untuk menolak mara bahaya (sengkolo, Jawa) yang akan mengganggu bayi tersebut.
Pada waktu pelaksanaan upacara kenduri disamping doa selamat, ada sementara masyarakat yang membaca doa sebagai berikut :
“Rahayu. Aku menyaksikan bahwa sesungguhnya tiada ada Pangeran yang disembah melainkan Datingsun sendiri ialah Sang Ning Hidup Sejati, ialah Hyang Wasesa Tunggal Aku semua menyambut kepada yang ada saat ini menitis
jabang bayi yang dilahirkan ………………………………………………………………………
(nama ibu yang melahirkan).
Selanjutnya di alam fana atau dunia ini senantiasa diberi tuntunan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mangereh Jatinya Panca Hindria Tama. Madhep jagat Padhang Hyang Maha Tunggal” x 3 (tiga kali).
‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾
Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Upacara Tradisional daerah Jawa Timur.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi Daerah 1983-1984, Surabaya September 1984, hlm. 70 – 72
Bila bayi sudah mencapai umur selapan atau 35 hari perlu juga diselamati. Bila kemampuan mengizinkan biasanya mendatangkan tamu dengan disertai keramaian. Yang punya hajatan mengundang tetangga sebelah yang berdekatan kemudian juga sanak keluarga disuruh datang. Dan ritual selapanan itu juga bersamaan dengan puput pusar dan pemberian nama untuk sang bayi.
Selamatan yang diperlukan:
1. nasi tumpeng beserta sayur-sayuran,
2. jenang merah putih,
3. jajan pasar,
4. telur ayam yang telah direbus secukupnya.
Bayi yang telah berumur selapan atau 35 hari rambutnya dicukur, kukunya dipotong. Menurut kepercayaan, rambut cukuran pertama, potongan kuku pertama dan puser yang telah terlepas dijadikan satu, dicampur dengan kembang telon(tiga macam bunga) yang kemudian dibungkus menjadi satu. Bila bayi itu telah dewasa kelak isi bungkusan tadi ditelan bersama-sama dengan pisang mas. Hal tersebut bermanfaat untuk tulak balak artinya tidak akan terkena guna-guna dan terlepas dari segala macam bahaya.
Tedhak artinya turun atau menapakkan kaki, Siten dari kata siti artinya tanah atau bumi. Jadi tedhak siten berarti menapakkan kaki kebumi.Ritual tedhak siten menggambarkan persiapan seorang anak untuk menjalani kehidupan yang benar dan sukses dimasa mendatang, dengan berkah Gusti, Tuhan dan bimbingan orang tua dan para guru dari sejak masa anak-anak.Upacara tedhak siten juga punya makna kedekatan anak manusia kepada Ibu Pertiwi.Dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar dibumi ini dan sekaligus tetap merawat dan menyayangi bumi, maka kehidupan didunia terasa nyaman dan menyenangkan. Ini untuk mengingatkan bahwa bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk menunjang kehidupan manusia. Tanpa ada bumi, sulit dibayangkan bagaimana eksistensi kehidupan manusia , sang suksma yang berbadan halus dan kasar.
Manusia wajib bersyukur kepada Gusti, Tuhan , diberikan kehidupan yang memadai dibumi yang alamnya sangat kondusif, memungkinkan mahluk manusia dan mahluk-mahluk yang lain bermukim disini. Inilah kesempatan untuk berbuat yang sebaik-baiknya, berkarya nyata, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi untuk peradaban seluruh umat manusia, yang semuanya adalah titah Gusti dan asal muasalnya dari tempat yang sama.
Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma didunia ini, atas kehendak Gusti.
Tedak sinten dilaksanakan pada waktu seorang anak kecil berumur tujuh selapan atau 245 hari. .Selapan merupakan kombinasi hari tujuh menurut kalender internasional dan hari lima sesuai kalender Jawa.Oleh karena itu selapanan terjadi setiap 35 hari sekali. Bisa jatuh hari Senin Legi, Selasa Paing dst.
Biasanya pelaksanaan upacara tedhak siten diadakan pagi hari dihalaman depan rumah.Selain kedua orang tua bocah, kakek nenek dan para pinisepuh merupakan tamu terhormat, disamping tentunya diundang juga para saudara dekat. Seperti pada setiap upacara tradisional, mesti dilengkapi dengan sesaji yang sesuai.Bermacam sesaji yang ditata rapi, seperti beberapa macam bunga, herbal dan hasil bumi yang dirangkai cantik, menambah sakral dan marak suasana ritual.
Sesaji itu bukan takhayul, tetapi intinya bila diurai merupakan sebuah doa permohonan kepada Gusti, Tuhan, supaya upacara berjalan dengan selamat dan lancar. Juga tujuan dari ritual tercapai, mendapatkan berkah Gusti.
Jalannya upacara
Pertama : Anak dituntun untuk berjalan maju dan menginjak bubur tujuh warna yang terbuat dari beras ketan. Warna-warna itu adalah : merah, putih, oranye, kuning, hijau, biru dan ungu.
Ini perlambang , anak mampu melewati berbagai rintangan dalam hidupnya. Strata kesadarannya juga selalu meningkat lebih tinggi. Dimulai dari kehidupan duniawi , untuk menunjang dan mengembangkan diri, terpenuhi kebutuhan raganya, kehidupan materinya cukup, raganya sehat, banyak keinginannya terpenuhi.Seiring pertumbuhan lahir, keperluan batin meningkat ke kesadaran spiritual .
Kedua : Anak dituntun menaiki tangga yang terbuat dari batang tebu Arjuna, lalu turun lagi.Tebu merupakan akronim dari antebing kalbu, mantapnya kalbu, dengan tekad hati yang mantap.
Tebu Arjuna melambangkan supaya si anak bersikap seperti Arjuna, seorang yang berwatak satria dan bertanggung jawab. Selalu berbuat baik dan benar, membantu sesama dan kaum lemah, membela kebenaran, berbakti demi bangsa dan negara.
Ketiga : Turun dari tangga tebu, si anak dituntun untuk berjalan dionggokan pasir.Disitu dia mengkais pasir dengan kakinya, bahasa Jawanya ceker-ceker, yang arti kiasannya adalah mencari makan. Maksudnya si anak setelah dewasa akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keempat : Si bocah dimasukkan kedalam sebuah kurungan yang dihias apik, didalamnya terdapat berbagai benda seperti : buku, perhiasan, telpon genggam dlsb. Dibiarkan bocah itu akan memegang barang apa. Misalnya dia memegang buku, mungkin satu hari dia mau jadi ilmuwan.
Pegang telpon genggam, dia bisa jadi tehnisi atau ahli komunikasi.
Kurungan merupakan perlambang dunia nyata, jadi si anak memasuki dunia nyata dan dalam kehidupannya dia akan dipenuhi kebutuhannya melalui pekerjaan/aktivitas yang telah dipilihnya secara intuitif sejak kecil.
Kelima : Ayah dan kakek si bocah menyebar udik-udik, yaitu uang logam dicampur berbagai macam bunga. Maksudnya si anak sewaktu dewasa menjadi orang yang dermawan, suka menolong orang lain. Karena suka menberi, baik hati, dia juga akan mudah mendapatkan rejeki.
Ada juga ibu si anak mengembannya, sambil ikut menyebarkan udik-udik.
Keenam : Kemudian anak tersebut dibersihkan dengan dibasuh atau dimandikan dengan air sritaman, yaitu air yang dicampuri bunga-bunga : melati, mawar, kenanga dan kantil.
Ini merupakan pengharapan , dalam kehidupannya, anak ini nantinya harum namanya dan bisa mengharumkan nama baik keluarganya.
Ketujuh : Pada akhir upacara, bocah itu didandani dengan pakaian bersih dan bagus. Maksudnya supaya si anak mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan bisa membuat bahagia keluarganya.
Demikian, ritual tedhak siten telah selesai. Seluruh keluarga berbahagia dan berharap semoga Gusti memberikan berkahnya, supaya tujuan ritual berhasil. Selanjutnya para hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang telah disediakan.