IBU
dening : Amalia Desi Roheni
tresnamu asih ora ana sing nggantekake
kesabaranmu kang kebak ora bisa tak lalikake
dongamu marang aku tulus tansah ngiringi awakku
pengorbananmu tanpa wates ora bisa winales
pituturmu bakal dakrungu
tresna asihmu marang aku
ora bakal puput pandongaku ibu
mugiya Gusti tansah nyembadani
Cita-Citaku
dening : Amalia Desi Roheni
esok awan wengi aku golek ngelmu
kanggo nentokake cita-citaku
ora ana wektu kanggo seneng-seneng
nanging semangatku nyagak golek ngelmu
oh Gusti, aku golek ngelmu sedina-dina
aku kudu entuk juara
paringana ridho awakku iki
supaya aku sesok bakti marang wong tua
lan uga negeri iki
Kamis, 26 Desember 2013
Tradisi Wagean di Bumiayu-Brebes
Bumiayuku - Masyarakat Bumiayu tentunya sudah tidak asing lagi dengan istilah “Wagean”, ya sebuah aktifitas jual beli masyarakat Bumiayu yang mengacu pada penanggalan Jawa atau kalender Jawa. Sebagaimana kita tahu bahwa kalender Jawa merupakan perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu-Budha. Dan dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang di pakai ada dua yaitu siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari dan siklus pekan Pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Sistem yang di pakai untuk hari pasaran adalah menggunakan siklus pekan Pancawara yang terdiri dari hari-hari seperti Legi, Pahing, pon, Wage dan Kliwon. Jadi Pasar Wage sebuah aktifitas pasar yang berdasarkan penanggalan Jawa, di mana masyarakat Bumiayu dan sekitarnya yang memperjualbelikan barang-barang dagangan. Sebenarnya konsep dari wagean sendiri pada awalnya adalah sebuah wadah untuk memperjualbelikan hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Secara historis memang mengacu pada penanggalan Jawa, dimana penanggalan Jawa selalu mempertimbangkan pada hari baik atau keberuntungan melalui Primbon.
Tradisi masyarakat Jawa selalu berpegang pada aturan atau panduan yaitu berupa Primbon. Di mana pengertian Primbon menurut Franz Magnis Suseno, adalah buku-buku di mana dicatat saat-saat, tempat-tempat dan syarat-syarat lain yang tepat untuk segala macam usaha. Jadi dalam segala sesuatunya masyarakat Jawa selalu memepertimbangkan keseimbangan dalam kehidupan. Hal itu mencakup keseimbangan dengan alam, dunia lain dan kekuatan kosmis. Oleh karena itu manusia (masyarakat Jawa) tidak boleh bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan ilmiah. Termasuk dalam pemilihan tempat jual beli, pemilihan hari, pemberian nama, pekerjaan dan lainnya masyarakat Jawa mempertimbangkan kesatuan dan keserasian.
Dalam hal pemilihan tempat misalnya menjadi penting dengan alasan keselamatan. Menurut Franz Magnis Susuno, bahwa dalam rangka pandangan Dunia Jawa, manusia tentu berkepentingan agar setiap orang menempati tempatnya yang tepat. Di tingkat masyarakat, tanda yang paling jelas bahwa setiap pihak berada pada tempat kosmisnya yang tepat adalah keselarasan sosial. Dari semua pertimbangan di atas maka tidak salah pemilihan tempat jual beli seperti pasar, memerhatikan aturan yang ada seperti yang di anut masyarakat Jawa. Kenapa hari pasaran Wage berada di Bumiayu, tentunya berdasarkan pertimbangan Primbon dan kalender Jawa serta menurut pendapat para sesepuh.
Aktifitias perdagangan yang berada di ruas jalan utama Bumiayu-Salem, secara historis pada awalnya adalah pasar tempat penjualan hewan ternak dan dinamakan Pasar Hewan. Karena pasar tersebut jatuh pada hari pasaran Wage, maka masyarakat Bumiayu menyebutnya dengan sebutan Pasar Wage. Dan aktifitas warga yang datang melakukan transaksi jual beli dan interaksi sosial di pasar wage disebut dengan istilah “Wagean”. Hewan ternak yang di perjualbelikan di Pasar Wage antara lain seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci, jenis burung dan ikan. Pasar Hewan dalam perkembangan selanjutnya, mulai di padati pedagang-pedagang yang berjualan alat pertanian, perkebunan, perikanan, dan kebutuhan lainnya. Di mana komoditi dalam pertanian dan peternakan di dukung oleh alat dan juga kelengkapan lainnya. Maka dari itu tidak heran jika dalam perkembangannya Pasar Wage terdapat pedagang yang mensuplai kelengkapan alat pertanian dan peternakan.
Tetapi dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan pertanian sampai dengan pakaian, tidak membuat transaksi jual beli ternak kehilangan identitasnya. Pasar Wage tetap menjadi ajang jual beli ternak di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan perlengkapan lain, Pasar Wage semakin ramai di padati oleh pembeli dari berbagai daerah. Warga masyarakat Bumiayu Wagean untuk mencari dan membeli barang-barang dengan harga yang bersaing dan murah. Di pasar Wage memang memperjualbelikan barang dengan harga yang murah, tetapi dengan kwalitas yang tidak berbeda jauh dengan yang ada di toko-toko.
Di Pasar Wage dapat ditemui barang-barang yang tidak ada di toko-toko dan tentunya harga juga lebih murah. Barang-barang seperti fashion, elektronik, barang antik, obat-obatan alternatif, buku-buku, onderdil motor, pernak-pernik asesoris, sampai dengan kuliner semua ada di Pasar Wage. Semua barang-barang tersebut ada dalam kondisi baru dan juga ada yang second, dan tentunya harga juga berbeda dengan yang ada di toko. Di samping itu di Pasar Wage kadang di temui para pedagang yang menjual hewan dari mulai kelinci, ikan, ular, kura-kura, tokek, iguana, burung hantu, monyet, landak dan hewan-hewan eksotik lain, yang tidak lazim dipelihara tersedia di Pasar Wage Bumiayu. Itulah yang membuat daya tarik dari Pasar Wage di Bumiayu selain sebagai ajang jual beli, pasar tersebut sebagai wahana hiburan warga Bumiayu dan sekitarnya.
Dengan adanya para pedagang tersebut membuat daya tarik Pasar Wage, sehingga pasar tersebut selalu ramai dipadati oleh para pembeli dari berbagai wilayah di Brebes Selatan. Dan keramaian pada hari wage tersebut membuat lalu lintas di kota Bumiayu macet selama ada aktifitas Pasar Wage. Dimana kita semua juga tahu, kota Bumiayu pada hari-hari biasa juga selalu macet karena aktifitas pasar dan juga parkir yang semrawut. Apalagi kalau bertepatan dengan adanya Pasar Wage, lalu lintas di Bumiayu dari ruas jalan utama sampai jalan-jalan kecil macet dan tersendat. Jika hari pasaran Wage bertepatan dengan hari minggu atau hari libur Nasional, Pasar Wage semakin ramai dan lalu lintas semakin macet.
Terlebih lagi jika mendekati hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, Pasar Wage semakin ramai dan dipadati pengunjung. Hal ini dikarenakan para perantau yang pulang kampung belanja kebutuhan untuk keperluan lebaran di Pasar Wage. Sehingga warga Bumiayu yang dari rantau tumplek jadi satu, ditambah lagi dengan warga dari sekitar Bumiayu seperti Paguyangan, Tonjong, Bantarkawung dan Salem. Di sisi lain masyarakat Bumiayu juga mengenal tradisi “Prepegan”, adalah waktu dalam hitungan hari yang menandakan akan berakhirnya bulan Ramadhan dan menyambut datangnya Hari Raya. Dengan adanya Prepegan warga Bumiayu mengungkapkan dalam wujud rasa syukur dan kegembiraan menyambut Hari Raya. Sehingga warga mempersipakan segala kebutuhannya menjelang hari raya, sasaran untuk membeli kebutuhan tersebut salah satunya adalah di Pasar Wage. Baik dalam perayaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga Bumiayu selalu memadati Pasar wage dan melakukan aktifitas wagean.
Aktifitas jual beli di Pasar Wage dan interaksi sosial di pasar tersebut, apabila dicermati merupakan bentuk budaya yang telah tarkait dengan masyarakat dan terbentuk melalui relasi sosial. Di dalam Pasar Wage terbentuk relasi perdagangan melalui kesadaran kolektif secara ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Bedanya dibanding pasar-pasar lain, di pasar Wage ini iklim perdagangan yang terbentuk masih bersifat tradisional. Bentukan dari tindakan-tindakan terdahulu (tradisi) yang terproses panjang oleh perjalanan waktu. Jadi pada intinya memang tradisi “Wagean” bertumpu pada tradisi Jawa baik dalam penanggalan maupun dalam interaksi jual belinya. Bentuk budaya yang dimaksud adalah berlangsung aktivitas jual-beli yang kaya nilai-nilai lokal. Seperti keramahan masyarakat dalam bertegur sapa dan ramainya suasana tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga. Sehingga yang terjadi adanya interaksi sesama warga Bumiayu dan sekitarnya yang lebih hidup ketika berada di dalamnya.
Dalam budaya Jawa memang selau mengedepankan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keramahan dan kebersamaan antar sesama. Filsafat masyarakat Jawa mengajarkan orang dalam pergaulan masyarakat bersikap ramah tamah, menghargai sesama manusia. Lebih spesifik Franz Magnis Suseno menjelaskan, bahwa masyarakat Jawa mengatur interaksi-interasksinya melalui dua prinsip, prinsip kerukunan dan hormat. Sehingga warga Bumiayu melangsungkan segala aktifitasnya berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Tak terkecuali dalam aktifitas jual beli di Pasar Wage, sehingga yang terjadi adalah terjalinnya pertemanan dan persaudaraan. Itulah istimewanya sebuah wagean disamping sebagai transaksi jual beli, juga sebagai ajang untuk silaturahmi dan persaudaraan. Dengan pergi ke wagean kita dapat dipertemukan dengan saudara, teman lama atau bahkan menambah teman melalui transaksi jual beli.
Itulah kelebihan dari tradisi wagean di Bumiayu, sehingga setiap hari pasaran wage senantiasa ramai dikunjungi oleh warga Brebes Selatan. Tradisi wagean juga melebur status sosial yang ada di masyarakat, yaitu bertemunya orang kaya dan orang kecil (wong cilik). Di mana kita tahu dalam tradisi Jawa terdapat dua status sosial yaitu Wong Cilik dan Kaum Priyayi. Wagean telah menjadi bagian dari Budaya yang ada di wilayah Bumiayu, dan senantiasa ramai di kunjungi dan dipadati oleh warga. Wagean telah menjadi aktifitas warga Bumiayu dan sekitarnya, yang berdasarkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Maka dari itu Dengan tingginya animo warga masyarakat Bumiayu yang mengunjungi Pasar Wage, seharusnya perlu di imbangi dengan pembenahan sarana dan prasarana yang lebih menunjang dan lebih baik lagi. Pembenahan jalan raya, peraturan pedagang, retribusi parkir, dan sarana pasar yang ideal, merupakan beberapa upaya dalam melestarikan tradisi wagean di Bumiayu.
Pembenahan sistem yang baik dan teratur diharapkan dapat membuat pasar wage tetap bertahan tanpa meninggalkan tradisi lokal yang ada di wagean. Di sisi lain dengan adanya era globalisasi dan era teknologi, yang tak dapat dibendung tidak membuat tradisi wagean di Bumiayu itu hilang. Maka dari itu pemerintah harus bersikap bijak dalam menyikapinya, dan tetap berpihak pada budaya kearifan lokal. Dengan menjamurnya budaya pasar modern seperti supermarket, minimarket, dan mall, pemerintah setempat harus tetap mempertimbangkan kearifan budaya lokal yang berpihak pada kerakyatan. Tradisi wagean yang ada di tengah kota Bumiayu tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi dan budaya kerakyatan. Semakin banyak perhatian pemerintah dapat mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Kita sebagai bagian dari masyarakat Jawa, ikut berperan serta dalam melestarikan kearifan budaya lokal. Maka dari itu sebagai warga masyarakat Bumiayu, mari kita lestarikan budaya “wagean” dengan mengunjungi pasar wage dengan sikap yang rukun dan ramah tamah. Dengan semua itu diharapkan tradisi “wagean” yang sudah ada sejak dulu dapat tetap lestari ditengah era globaliasasi.
Tradisi masyarakat Jawa selalu berpegang pada aturan atau panduan yaitu berupa Primbon. Di mana pengertian Primbon menurut Franz Magnis Suseno, adalah buku-buku di mana dicatat saat-saat, tempat-tempat dan syarat-syarat lain yang tepat untuk segala macam usaha. Jadi dalam segala sesuatunya masyarakat Jawa selalu memepertimbangkan keseimbangan dalam kehidupan. Hal itu mencakup keseimbangan dengan alam, dunia lain dan kekuatan kosmis. Oleh karena itu manusia (masyarakat Jawa) tidak boleh bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial dan ilmiah. Termasuk dalam pemilihan tempat jual beli, pemilihan hari, pemberian nama, pekerjaan dan lainnya masyarakat Jawa mempertimbangkan kesatuan dan keserasian.
Dalam hal pemilihan tempat misalnya menjadi penting dengan alasan keselamatan. Menurut Franz Magnis Susuno, bahwa dalam rangka pandangan Dunia Jawa, manusia tentu berkepentingan agar setiap orang menempati tempatnya yang tepat. Di tingkat masyarakat, tanda yang paling jelas bahwa setiap pihak berada pada tempat kosmisnya yang tepat adalah keselarasan sosial. Dari semua pertimbangan di atas maka tidak salah pemilihan tempat jual beli seperti pasar, memerhatikan aturan yang ada seperti yang di anut masyarakat Jawa. Kenapa hari pasaran Wage berada di Bumiayu, tentunya berdasarkan pertimbangan Primbon dan kalender Jawa serta menurut pendapat para sesepuh.
Aktifitias perdagangan yang berada di ruas jalan utama Bumiayu-Salem, secara historis pada awalnya adalah pasar tempat penjualan hewan ternak dan dinamakan Pasar Hewan. Karena pasar tersebut jatuh pada hari pasaran Wage, maka masyarakat Bumiayu menyebutnya dengan sebutan Pasar Wage. Dan aktifitas warga yang datang melakukan transaksi jual beli dan interaksi sosial di pasar wage disebut dengan istilah “Wagean”. Hewan ternak yang di perjualbelikan di Pasar Wage antara lain seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci, jenis burung dan ikan. Pasar Hewan dalam perkembangan selanjutnya, mulai di padati pedagang-pedagang yang berjualan alat pertanian, perkebunan, perikanan, dan kebutuhan lainnya. Di mana komoditi dalam pertanian dan peternakan di dukung oleh alat dan juga kelengkapan lainnya. Maka dari itu tidak heran jika dalam perkembangannya Pasar Wage terdapat pedagang yang mensuplai kelengkapan alat pertanian dan peternakan.
Tetapi dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan pertanian sampai dengan pakaian, tidak membuat transaksi jual beli ternak kehilangan identitasnya. Pasar Wage tetap menjadi ajang jual beli ternak di wilayah Bumiayu dan sekitarnya. Dengan adanya pedagang yang memperjualbelikan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan perlengkapan lain, Pasar Wage semakin ramai di padati oleh pembeli dari berbagai daerah. Warga masyarakat Bumiayu Wagean untuk mencari dan membeli barang-barang dengan harga yang bersaing dan murah. Di pasar Wage memang memperjualbelikan barang dengan harga yang murah, tetapi dengan kwalitas yang tidak berbeda jauh dengan yang ada di toko-toko.
Di Pasar Wage dapat ditemui barang-barang yang tidak ada di toko-toko dan tentunya harga juga lebih murah. Barang-barang seperti fashion, elektronik, barang antik, obat-obatan alternatif, buku-buku, onderdil motor, pernak-pernik asesoris, sampai dengan kuliner semua ada di Pasar Wage. Semua barang-barang tersebut ada dalam kondisi baru dan juga ada yang second, dan tentunya harga juga berbeda dengan yang ada di toko. Di samping itu di Pasar Wage kadang di temui para pedagang yang menjual hewan dari mulai kelinci, ikan, ular, kura-kura, tokek, iguana, burung hantu, monyet, landak dan hewan-hewan eksotik lain, yang tidak lazim dipelihara tersedia di Pasar Wage Bumiayu. Itulah yang membuat daya tarik dari Pasar Wage di Bumiayu selain sebagai ajang jual beli, pasar tersebut sebagai wahana hiburan warga Bumiayu dan sekitarnya.
Dengan adanya para pedagang tersebut membuat daya tarik Pasar Wage, sehingga pasar tersebut selalu ramai dipadati oleh para pembeli dari berbagai wilayah di Brebes Selatan. Dan keramaian pada hari wage tersebut membuat lalu lintas di kota Bumiayu macet selama ada aktifitas Pasar Wage. Dimana kita semua juga tahu, kota Bumiayu pada hari-hari biasa juga selalu macet karena aktifitas pasar dan juga parkir yang semrawut. Apalagi kalau bertepatan dengan adanya Pasar Wage, lalu lintas di Bumiayu dari ruas jalan utama sampai jalan-jalan kecil macet dan tersendat. Jika hari pasaran Wage bertepatan dengan hari minggu atau hari libur Nasional, Pasar Wage semakin ramai dan lalu lintas semakin macet.
Terlebih lagi jika mendekati hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, Pasar Wage semakin ramai dan dipadati pengunjung. Hal ini dikarenakan para perantau yang pulang kampung belanja kebutuhan untuk keperluan lebaran di Pasar Wage. Sehingga warga Bumiayu yang dari rantau tumplek jadi satu, ditambah lagi dengan warga dari sekitar Bumiayu seperti Paguyangan, Tonjong, Bantarkawung dan Salem. Di sisi lain masyarakat Bumiayu juga mengenal tradisi “Prepegan”, adalah waktu dalam hitungan hari yang menandakan akan berakhirnya bulan Ramadhan dan menyambut datangnya Hari Raya. Dengan adanya Prepegan warga Bumiayu mengungkapkan dalam wujud rasa syukur dan kegembiraan menyambut Hari Raya. Sehingga warga mempersipakan segala kebutuhannya menjelang hari raya, sasaran untuk membeli kebutuhan tersebut salah satunya adalah di Pasar Wage. Baik dalam perayaan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, warga Bumiayu selalu memadati Pasar wage dan melakukan aktifitas wagean.
Aktifitas jual beli di Pasar Wage dan interaksi sosial di pasar tersebut, apabila dicermati merupakan bentuk budaya yang telah tarkait dengan masyarakat dan terbentuk melalui relasi sosial. Di dalam Pasar Wage terbentuk relasi perdagangan melalui kesadaran kolektif secara ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Bedanya dibanding pasar-pasar lain, di pasar Wage ini iklim perdagangan yang terbentuk masih bersifat tradisional. Bentukan dari tindakan-tindakan terdahulu (tradisi) yang terproses panjang oleh perjalanan waktu. Jadi pada intinya memang tradisi “Wagean” bertumpu pada tradisi Jawa baik dalam penanggalan maupun dalam interaksi jual belinya. Bentuk budaya yang dimaksud adalah berlangsung aktivitas jual-beli yang kaya nilai-nilai lokal. Seperti keramahan masyarakat dalam bertegur sapa dan ramainya suasana tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan harga. Sehingga yang terjadi adanya interaksi sesama warga Bumiayu dan sekitarnya yang lebih hidup ketika berada di dalamnya.
Dalam budaya Jawa memang selau mengedepankan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keramahan dan kebersamaan antar sesama. Filsafat masyarakat Jawa mengajarkan orang dalam pergaulan masyarakat bersikap ramah tamah, menghargai sesama manusia. Lebih spesifik Franz Magnis Suseno menjelaskan, bahwa masyarakat Jawa mengatur interaksi-interasksinya melalui dua prinsip, prinsip kerukunan dan hormat. Sehingga warga Bumiayu melangsungkan segala aktifitasnya berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal tersebut. Tak terkecuali dalam aktifitas jual beli di Pasar Wage, sehingga yang terjadi adalah terjalinnya pertemanan dan persaudaraan. Itulah istimewanya sebuah wagean disamping sebagai transaksi jual beli, juga sebagai ajang untuk silaturahmi dan persaudaraan. Dengan pergi ke wagean kita dapat dipertemukan dengan saudara, teman lama atau bahkan menambah teman melalui transaksi jual beli.
Itulah kelebihan dari tradisi wagean di Bumiayu, sehingga setiap hari pasaran wage senantiasa ramai dikunjungi oleh warga Brebes Selatan. Tradisi wagean juga melebur status sosial yang ada di masyarakat, yaitu bertemunya orang kaya dan orang kecil (wong cilik). Di mana kita tahu dalam tradisi Jawa terdapat dua status sosial yaitu Wong Cilik dan Kaum Priyayi. Wagean telah menjadi bagian dari Budaya yang ada di wilayah Bumiayu, dan senantiasa ramai di kunjungi dan dipadati oleh warga. Wagean telah menjadi aktifitas warga Bumiayu dan sekitarnya, yang berdasarkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Maka dari itu Dengan tingginya animo warga masyarakat Bumiayu yang mengunjungi Pasar Wage, seharusnya perlu di imbangi dengan pembenahan sarana dan prasarana yang lebih menunjang dan lebih baik lagi. Pembenahan jalan raya, peraturan pedagang, retribusi parkir, dan sarana pasar yang ideal, merupakan beberapa upaya dalam melestarikan tradisi wagean di Bumiayu.
Pembenahan sistem yang baik dan teratur diharapkan dapat membuat pasar wage tetap bertahan tanpa meninggalkan tradisi lokal yang ada di wagean. Di sisi lain dengan adanya era globalisasi dan era teknologi, yang tak dapat dibendung tidak membuat tradisi wagean di Bumiayu itu hilang. Maka dari itu pemerintah harus bersikap bijak dalam menyikapinya, dan tetap berpihak pada budaya kearifan lokal. Dengan menjamurnya budaya pasar modern seperti supermarket, minimarket, dan mall, pemerintah setempat harus tetap mempertimbangkan kearifan budaya lokal yang berpihak pada kerakyatan. Tradisi wagean yang ada di tengah kota Bumiayu tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi dan budaya kerakyatan. Semakin banyak perhatian pemerintah dapat mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Kita sebagai bagian dari masyarakat Jawa, ikut berperan serta dalam melestarikan kearifan budaya lokal. Maka dari itu sebagai warga masyarakat Bumiayu, mari kita lestarikan budaya “wagean” dengan mengunjungi pasar wage dengan sikap yang rukun dan ramah tamah. Dengan semua itu diharapkan tradisi “wagean” yang sudah ada sejak dulu dapat tetap lestari ditengah era globaliasasi.
(Sulastri Manda Aprida)
Sejarah Batik Tulis Bakaran, Juwana-Pati
Wilayah Desa Bakaran Wetan merupakan daerah persisir kabupaten Pati yang oleh penduduk setempat dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, ladang, sawah tadah hujan, tambak serta sebagai tempat usaha lainnya termasuk pembuatan barang seni yaitu batik. Keberadaan batik bakaran ini tak lepas dari usaha Nyai Sabirah sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan batik, dan sampai saat ini-pun Bakaran merupakan sentral kerajinan batik di wilayah Kabupaten Pati.
Nyai Sabirah juga sama seperti RA. Kartini, waktu itu beliau juga berkeinginan untuk mengangkat derajat kaum wanita di Bakaran Wetan agar sederajat dengan kaum laki-laki. Cara yang dilakukan Nyai Sabirah adalah mengajarakan wanita Bakaran Wetan untuk bertani dan membatik dengan penuh rasa sabar karena beliau sadar pada dasarnya martabat wanita itu sama baik dalam hubungannya manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat memimpin dan bekerja.
Nyai Sabirah adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit terjadi perang saudara, tiba-tiba pemberontak membakar kerajaan Majapahit selama tiga hari tiga malam keadaan yang sudah kacau balau itu diperparah lagi dengan datangnya pasukan tentara Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1500-1518) sebenarnya Raden Patah ini bermaksud baik ingin menumpas pemberontak di kerajaan Majapahit, akan tetapi kerajaan Majapahit beranggapan bahwa Demak memberontak melawan Majapahit.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding perempuan.
Sang adik mempunyai usul kepada kakaknya "Kak...kamu adalah seorang laki-laki pasti wilayahmu lebih luas dari aku,” kata Nimas Sabirah kepada kakaknya "Aku punya usul begini kak, supaya adil kalau seandainya aku mengumpulkan sedikit sampah dan membakarnya, nanti di mana jatuhnya abu di situlah wilayah bagianku, bagaimana menurutmu kak?", lanjut Nimas Sabirah kepada kakaknya. Kemudian kakak-nya menjawab "Sebagai kakak yang bijaksana aku setuju dengan usulanmu".
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa Bakaran.
Nimas Sabirah di Desa Bakaran itu mengajak warga masyarakat untuk hidup rukun, gotong-royong dan saling tolong-menolong. Nyai Sabirah memberi contoh warga masyarakat untuk mengolah lahan pertanian dengan baik dan beliau juga ikut bertani sebagaimana masyarakat desa itu. Nimas Sabirah ingat akan pesan orang tua dan leluhurnya agar dia menjadi wanita yang utama. Pengertian wanita yang utama menurut orang Jawa dimaksudkan bahwa seorang wanita dituntut mempunyai keutamaan moral dalam menjalin hubunganya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungannya sesama melalui segala aspek jasmani maupun rohani. Nimas Sabirah beranggapan bahwa wanita mempunyai martabat sederajat dengan pria, baik dari segi hubungannya dengan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Nimas Sabirah dengan kecerdasannya mengajak masyarakat untuk membangun suatu bangunan tempat berkumpul sekaligus tempat pencerahaan jiwa. Bangunan itu terletak disamping rumahnya. Masyarakat bergotong-royong membangun tempat itu dengan senang hati. Bangunan itu bentuknya seperti masjid, menghadap ke timur mengarah ke kiblat, namun bangunan itu tidak ada tempat untuk pengimaman (tempat memimpin sholat). Bangunan itu terdiri dari ruang utama atau ruang dalam dan serambi. Orang memberi nama atau menyebutnya bangunan Sigit (Isine Wong Anggit) bangunan Sigit ini digunakan oleh Nyai Sabirah sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Bakaran Wetan ketika Nyai Sabirah panen beliau mengumpulkan warganya untuk makan bersama dan malamnya menonton pertunjukan wayang.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15 September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar (kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan jelas 15 Februari 1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai saat ini masih terawat dan
konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Nyai Sabirah walaupun seorang wanita, beliau mempunyai piaraan yang sangat unik yaitu ayam jantan. Ayam jantan Nyai Sabirah selalu berkokok setiap paginya untuk membangunkan warga masyarakat untuk segera bangun dan mencari nafkah. Ayam jantan itu di beri nama Jago Tunggul Wulung dan ayam jantan piaraan Nyai Sabirah ini tidak terkalahkan apabila ditandingkan dan yang bertugas merawatnya adalah Bagus Kajieneman.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut dengan senyuman. Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa “Ulat sumeh agawe renane wong akeh” orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang dianggap saudara.
Dalang Sapanyana dan Trunajaya Kusuma adalah anak asuh dari Nyai Sabirah yang membantu beliau untuk menjamu para tamu, selain itu Nyai Sabirah juga mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan itu
Tradisi Meron dalam Masyarakat Sukolilo-Pati
Jalanan sepanjang satu kilometer yang membelah Pegunungan Kendeng Utara di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (17/2), penuh sesak orang.
Mereka mengerumuni arak-arakan 14 meron atau gunungan yang menyerupai tombak yang ujungnya terdapat lingkaran berisi ayam jago atau masjid.
Gunungan itu sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi ayam jago atau masjid.
Ayam jago menyimbolkan semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga simbol persaudaraan.
Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung.
Ampyang melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad manunggal atau persatuan. Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau penopang.
Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam, dan ancak bawah simbol ikhsan atau kebaikan.
Masyarakat Sukolilo mempercayai barangsiapa memperoleh salah satu dari bagian-bagian gunungan itu akan mendapatkan berkah sesuai dengan makna lambang-lambang itu, kata Ketua Panitia Grebeg Budaya Tradisi Meron Desa Sukolilo, Edy Purnomo.
Tradisi Meron merupakan tradisi tahunan yang digelar masyarakat Desa Sukolilo setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi itu tumbuh sejak abad XVII.
Waktu itu, Sukolilo masih kademangan di bawah Kasultanan Mataram di bawah perlindungan lima bersaudara yang kerap disebut pendawa Sukolilo, yaitu Sura Kadam, Sura Kerto, Sura Yuda, Sura Dimejo, dan Sura Nata.
Sura Kadam merupakan salah satu abdi dalem Kasultanan Mataram. Dia menjadi penunjuk jalan sekaligus prajurit mata-mata Kasultanan Mataram ketika Bupati Pati, Wasisjoyokusuma, tidak mau tunduk kepada Kasultanan Mataram.
Ketika pasukan Kasultanan Mataram sampai di Sukolilo, terjadilah pertempuran dengan prajurit Pati.
Namun, pertempuran itu berakhir dengan damai berkat kepiawaian berdialog Sura Kadam dan empat tumenggung Kasultanan Mataram.
Untuk merayakan kemenangan perdamaian itu, digelarlah Tradisi Meron yang berarti gunungan keprajuritan yang membawa pepadhang (penerang) persaudaraan dan perdamaian, kata tokoh masyarakat Desa Sukolilo, Ali Zyudi.
Menurut Camat Sukolilo Sukismanto , Tradisi Meron diharapkan mampu memelihara semangat persaudaraan yang beberapa waktu lalu terinjak- injak akibat tawuran tetangga desa.
Dia juga meminta semangat Tradisi M eron dihidupi warga agar penghargaan keberagaman selalu terjaga. Persaudaraan dan perdamaian sekarang ini mahal harganya. Peliharalah semangat itu dan wariskan kepada anak cucu, kata Sukismanto.
Asal-usul tradisi meron
Pati dan Mataram mempunyai hubungan kekerabatan yang baik. Mereka sepakat mengembangkan Islam yang subur dan menentang setiap pengaruh kekuasaan asing. Banyak pendekar sakti mataram yang didatangkan ke Pati untuk melatih keprajuritan Karena itu mereka harus tinggal berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di Pati.Ada seseorang bernama Ki Suta Kerta yang menjadi demang Sukolilo. Meskipun ayah dan kakeknya berasal dari Mataram dia belum pernah mengenal bumi leluhurnya. Tapi dia bersukur tinggal di Pesantenan karena kotanya juga makmur.Sebaliknya saudara Ki Suta yang bernama Sura Kadam ingin berbakti pada Mataram. Diapun pergi ke Mataram, ketika sedang bersiap menghadap Sultan, ada keributan. Ada seekor gajah mengamuk dan telah menewaskan penggembalanya. Sura Kadam pun berusaha mengatasi keadaan. Dia berhasil menjinakkan gajah dan menunggaginya, dia diangkat menjadi punggawa Mataram yang bertugas mengurus gajah. Suatu hari Sura Kadam bertugas memimpin pasukan Mataram menaklukkan Kadipaten Pati. Setelah perang usai Sura Kadam pun menjenguk sudaranya di kademangan Sukalilo. Demang Sura Kerta terkejut dan ketakutan. Dia takut ditangkap dan diringkus. Sura Kadam mengetahui hal itu dan menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk menyambung tali persaudaraan dan dia sudah membaktikan diri pada Mataram. Dia minta ijin supaya para prajurit diijinkan menginap di kademangan Sukolilo sambil menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Mataram, Sura Kadampun mengusulkan supaya mengadakan acara semacam sekaten untuk menghormati Maulud Nabi dan memberi hiburan pada rakyat. Kemudian mereka membuat gelanggang keramaian seperti sekaten. Rakyat menyambutnya dengan gembira. Karena itulah keramaian itu disebut meron yang berasal dari bahasa jawa rame dan iron-tiron-tiruan.
Dalam arak-arakan acara tersebut, diiring beberapa gunungan yang sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi ayam jago atau masjid Ayam jago menyimbolkan semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga simbol persaudaraan.
Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung. Ampyang melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad manunggal atau persatuan.
Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau penopang. Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam, dan ancak ba wah simbol ikhsan atau kebaikan.
Mereka mengerumuni arak-arakan 14 meron atau gunungan yang menyerupai tombak yang ujungnya terdapat lingkaran berisi ayam jago atau masjid.
Gunungan itu sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi ayam jago atau masjid.
Ayam jago menyimbolkan semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga simbol persaudaraan.
Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung.
Ampyang melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad manunggal atau persatuan. Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau penopang.
Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam, dan ancak bawah simbol ikhsan atau kebaikan.
Masyarakat Sukolilo mempercayai barangsiapa memperoleh salah satu dari bagian-bagian gunungan itu akan mendapatkan berkah sesuai dengan makna lambang-lambang itu, kata Ketua Panitia Grebeg Budaya Tradisi Meron Desa Sukolilo, Edy Purnomo.
Tradisi Meron merupakan tradisi tahunan yang digelar masyarakat Desa Sukolilo setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi itu tumbuh sejak abad XVII.
Waktu itu, Sukolilo masih kademangan di bawah Kasultanan Mataram di bawah perlindungan lima bersaudara yang kerap disebut pendawa Sukolilo, yaitu Sura Kadam, Sura Kerto, Sura Yuda, Sura Dimejo, dan Sura Nata.
Sura Kadam merupakan salah satu abdi dalem Kasultanan Mataram. Dia menjadi penunjuk jalan sekaligus prajurit mata-mata Kasultanan Mataram ketika Bupati Pati, Wasisjoyokusuma, tidak mau tunduk kepada Kasultanan Mataram.
Ketika pasukan Kasultanan Mataram sampai di Sukolilo, terjadilah pertempuran dengan prajurit Pati.
Namun, pertempuran itu berakhir dengan damai berkat kepiawaian berdialog Sura Kadam dan empat tumenggung Kasultanan Mataram.
Untuk merayakan kemenangan perdamaian itu, digelarlah Tradisi Meron yang berarti gunungan keprajuritan yang membawa pepadhang (penerang) persaudaraan dan perdamaian, kata tokoh masyarakat Desa Sukolilo, Ali Zyudi.
Menurut Camat Sukolilo Sukismanto , Tradisi Meron diharapkan mampu memelihara semangat persaudaraan yang beberapa waktu lalu terinjak- injak akibat tawuran tetangga desa.
Dia juga meminta semangat Tradisi M eron dihidupi warga agar penghargaan keberagaman selalu terjaga. Persaudaraan dan perdamaian sekarang ini mahal harganya. Peliharalah semangat itu dan wariskan kepada anak cucu, kata Sukismanto.
Asal-usul tradisi meron
Pati dan Mataram mempunyai hubungan kekerabatan yang baik. Mereka sepakat mengembangkan Islam yang subur dan menentang setiap pengaruh kekuasaan asing. Banyak pendekar sakti mataram yang didatangkan ke Pati untuk melatih keprajuritan Karena itu mereka harus tinggal berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di Pati.Ada seseorang bernama Ki Suta Kerta yang menjadi demang Sukolilo. Meskipun ayah dan kakeknya berasal dari Mataram dia belum pernah mengenal bumi leluhurnya. Tapi dia bersukur tinggal di Pesantenan karena kotanya juga makmur.Sebaliknya saudara Ki Suta yang bernama Sura Kadam ingin berbakti pada Mataram. Diapun pergi ke Mataram, ketika sedang bersiap menghadap Sultan, ada keributan. Ada seekor gajah mengamuk dan telah menewaskan penggembalanya. Sura Kadam pun berusaha mengatasi keadaan. Dia berhasil menjinakkan gajah dan menunggaginya, dia diangkat menjadi punggawa Mataram yang bertugas mengurus gajah. Suatu hari Sura Kadam bertugas memimpin pasukan Mataram menaklukkan Kadipaten Pati. Setelah perang usai Sura Kadam pun menjenguk sudaranya di kademangan Sukalilo. Demang Sura Kerta terkejut dan ketakutan. Dia takut ditangkap dan diringkus. Sura Kadam mengetahui hal itu dan menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk menyambung tali persaudaraan dan dia sudah membaktikan diri pada Mataram. Dia minta ijin supaya para prajurit diijinkan menginap di kademangan Sukolilo sambil menunggu saat yang tepat untuk kembali ke Mataram, Sura Kadampun mengusulkan supaya mengadakan acara semacam sekaten untuk menghormati Maulud Nabi dan memberi hiburan pada rakyat. Kemudian mereka membuat gelanggang keramaian seperti sekaten. Rakyat menyambutnya dengan gembira. Karena itulah keramaian itu disebut meron yang berasal dari bahasa jawa rame dan iron-tiron-tiruan.
Dalam arak-arakan acara tersebut, diiring beberapa gunungan yang sangat khas, karena terbagi menjadi tiga bagian.
Bagian teratas adalah mustaka yang berbentuk lingkaran bunga aneka warna berisi ayam jago atau masjid Ayam jago menyimbolkan semangat keprajuritan, masjid merupakan semangat keislaman, dan bunga simbol persaudaraan.
Bagian kedua gunungan itu terbuat dari roncean atau rangkaian ampyang atau kerupuk aneka warna berbahan baku tepung dan cucur atau kue tradisional berbahan baku campuran tepung terigu dan tepung. Ampyang melambangkan tameng atau perisai prajurit dan cucur lambang tekad manunggal atau persatuan.
Adapun bagian ketiga atau bawah gunungan disebut ancak atau penopang. Ancak itu terdiri ancak atas yang menyimbolkan iman, ancak tengah simbol islam, dan ancak ba wah simbol ikhsan atau kebaikan.
Asal Mula Terjadinya Kabupaten Pati (Babad Pati) = Yuyu Rumpung
Pada suatu wilayah terdapatlah Kadipaten Paranggaruda punya hajat mengawinkan putera satu-satunya yang bernama R. Jaseri atau lebih terkenal dengan sebutan Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoko bernama Dewi Ruyung Wulan. Menak Jasari adalah pemuda yang fisiknya cacat, dan berwajah jelek. Hingga membuat Dewi Ruyung Wulan menolak untuk didekatinya. Namun karena paksaan orang tua maka mau tidak mau Dewi Ruyung Wulan harus menerima R. Jaseri sebagai suaminya.
Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi Ruyung Wulan yang sedang bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran wayang yang dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan dalang Ki Soponyono yang sangat terkenal sebagai dalang yang mampu membawakan beberapa karakter tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata dan Ramayana sehingga banyak penonton yang terbius seolah cerita itu hidup.
Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh Dewi Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk mengulur-ulur pernikahan. Dan agar pernikahan ini dapat diggagalkan sebab sebetulnya ia tidak mencintai R. Jasari calon suaminnya. Pernikhan yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan semangat untuk hidup berumah tangga.
Ia berpesan kepada Dalang Saponyono untuk mencari cerita pewayangan yang mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati Dewi Ruyung Wulan.
Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya. Karena merasa tertantang untuk membawakan cerita wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan adalah wayang yang alur ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini dalang Sapanyono harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih. Hal ini pasti mendapat protes sama penonton. Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono harus memantaskan sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana pengantin kalau permintaannya tidak dituruti. Akhirnya dalang Soponyono menuruti permintaan Dewi Ruyung Wulan, Ia ditemani oleh dua orang adiknya yang cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang bertindak sebagai waranggano Swarawati
R. Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat bersanding dengan Dewi Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur R. Jaseri selalu menentes bila melihat kecantikannya. Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan. Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang Saponyono, Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia terpesonan dan jatuh cinta kepada dalang Soponyono yang wajahnya lebih tampan dan pandai memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang selalu mengumbar nafsu birahinya.
“bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki Saponyono melarikan diri diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.
Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung Joyo sangat marah sekali. Ia memanggil Patihnya Singopadu untuk segera mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri bergulung-gulung dilantai karena calon istrinya raib bersama Dalang Soponyono.
Adipati Paranggarudo memerintahkan patihnya Singopadu untuk segera mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah dengan tidak sopan santun dan kasar, Rakyat Carangsoko menjadi ketakutan, mereka berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah penduduk barangkali mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan barang siapa berani melindungnya akan dihukum. Hal ini membuat Adipati Puspo Handung Joyo kurang senang, yang dicari burunan Dalang Soponyono bukan rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli, yang penting adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar. Keluar hutan masuk hutan, Dewi Ruyung Wulan menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di Dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Majasemi. Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat orang tersebut kehausan. Musim kemarau yang panjang membuat mata air kering sehingga amat berharganya air. Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk air. Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri terutama dewi Rayungwulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan jauh. Rasa haus bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi, untuk meneruskan perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh dengan sumber air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang itu. Melihat hal itu Ki Sapanyono sangat bingung hatinya karena akan meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama Raden Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh binatang2 seperti kerbau, kancil. Namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
“Ternyata selama ini yang merusak tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya maling! Tangkap” terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung ditengah sawah. Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan pertarungan tersebut, karena dianggap pasukan Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki Sopanyono melawan R. Kembangjoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.
Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro”
“Yang namanya maling juga terpaksa semua”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono.
“lepaskan kakang Soponyono, yang kamu buru aku kan, aku boleh kamu bawa asalkan Kakang Soponyono dilepaskan dahulu” Dewi Ruyung Wulan mengira bahwa yang menangkap Dalang Soponyono adalah Pasukan Paranggarudo. Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap merangket keempat orang tersebut.
Mereka berempat menjadi tawanan R. Kembang Joyo, kemudian mereka dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya. Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo, karena kehausan dan lapar. Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono bersedia menampung dan melindungi mereka.
“Tinggal disini semaumu, masalah Paranggarudo biar kami yang akan menghadapinya.” Sukmoyono mempersilahkan Dalang Soponyono, dan ketiga putri untuk beristirahat dahulu.
Sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan Ambarwati diberikan kepada R. kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang Soko, Puspo Handung Joyo.
Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan yang juga merupakan anak buah Paranggarudo tahu kalau keris Rambut Pinutung dengan Kuluk Kanigoro adalah pusaka hebat yang dimiliki Sukmoyono. Yuyu Rumpung memerintahkan anak buahnya. Yang bernama Sondong Majeruk untuk mengambil kedua pusaka tersebut. Akan tetapi sebelum dapat diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah dapat diketahu Sondong Makerti sehingga terjadi pertempuran, Sondong Majeruk kelehan kehabisan tenaga hingga mau mati, keris Rambut Pinutung yang dibawa Sondong Makerti berhasil menusuk perut Sondong Majeruk hingga tewas. Selamatlah keris Rambut Pinutung tidak bisa dibawa oleh Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung murka kemudian memerintahkan segera menyerbu Majasemi bergabung dengan Pasukan Yudhopati dengan patih Singopati.
Sementera itu para prajurit Parang Garudo masih saja melakukan pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada Di Majasemi mereka dilindungi oleh Penewu Sukmayono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat seru banyak korban yang berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam pertempuran itu. Mendengar Penewu Sukmayono gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris Rambut Pinutung dengan kuluk Kanigoro menghancurkan Pasukan Paranggarudo. Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko, pertempuran dahsyat antara Patih Singopati dengan Patih Singopadu, memporsir energi sehingga keduanya gugur di medan laga. Pertempuran di Majasemi berakhir dengan membawa banyak korban.
Ki Saponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan bersama-sama dengan Raden Kembangjoyo. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan kepada Raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo kemudian ia menetap di Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin Kadipaten. Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden Sopanyono menuju hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten/pusat pemerintahan.
Alas (Hutan) Kemiri dihuni oleh beberapa binatang Singa, Gajah dan binatang buas lainnya, selain itu juga dihuni oleh kerajaan siluman, Kembang Joyo dan Dalang Soponyono bahu membahu melawan kerajaan Siluman tersebut. Akhirnya dengan kesaktian Kembang Joyo pemimpin Siluman menyerah. Untuk menangkal makhluk-makluk halus Dalang Sopoyono selamatan dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Sirnalah pemimpin Siluman beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan Kemiri menjadi perkampungan, ditengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk perkampungan baru, agar kelak dapat menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat perang Saudara”
Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang manis dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati Aren yang diberi Santan kelapa, gula aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terispirasi, kelak kalau pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten Pati-Pesantenan. Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
(Amalia Desi Roheni)
Khoul syeh Ronggo Kusuma, Margoyoso-Pati
Khoul Syeh Ronggo Kusuma merupakan upacara adat untuk
memperingati hari kematian sesepuh desa yang telah berjasa dalam penyebaran
agama Islam di desa Ngemplak Kidul.
· Sekilas Tentang Syeh Ronggo Kusumo
Desa Ngemplak kidul dibuka oleh Mbah Ronggo Kusumo
beserta para murid dan keluarganya. Mbah Ronggo Kusumo adalah salah satu wali
lokal yang menyebarkan agama Islam. Raden Ronggokusumo adalah putera Ki Agung
Meruwut yang masih keponakan KH.Ahmad Mutamakkin. Ia diperintahkan untuk
membuka tanah (menebang hutan) disebelah barat Desa Kajen. Perintah beliau
dilaksanakan penuh tanggungjawab sehingga dalam waktu yang singkat (konon dalam
waktu satu malam) tanah tersebut terlihat emplak-emplak, sehingga oleh beliau
dinamai Desa NGEMPLAK.
Raden Ronggo Kusumo menetap di Desa tersebut dan berjasa
besar dalam menyiarkan Agama Islam. Masyarakat desa Ngemplak Kidul dan
sekitarnya sangat menghormati Mbah Ronggo Kusumo. Hari wafat beliau, 10 Sapar
(Arab: Safar) diperingati sebagai "Khaul Syekh Ronggo Kusumo."
· Prosesi upacara adat
Khoul Syeh Ronggo Kusuma diperingati pada tanggal 10 Sapar
setiap tahun. Sebelum acara inti biasanya diadakan pengajian dan khotmil qur’an
di masjid Syeh Ronggo Kusumo. Dalam acara tersebut banyak pengunjung yang
datang ke masjid untuk ikut berpartisipasi dalam pengajian dan khotmil qur’an.
Pada tanggal 10 Sapar akan diadakan acara “lelang kain kafan (mori)” yaitu
melelang mori yang digunakan untuk menutupi kubur mbah Ronggo. Karena dalam
setiap tahun kain kafan yang digunakan untuk menutupi kuburan mbah Ronggo harus
diganti dengan yang baru. Bagi siapa yang berani menawar dengan harga yang
tinggi berarti itulah yang mendapatkanya. Dalam lelang kain kafan bisa
mencapai 17 juta lebih. Biasanya acara tersebut diadakan pada tanggal 10
Sapar di pagi hari.
Selain acara inti, biasanya diadakan pula acara-acara lain
yaitu diadakan tontonan berupa drumband, barongan, ketoprak, dangdutan, wayang
dll. Pada tanggal 10 Sapar, di makam mbah Ronggo banyak para pengunjung yang
datang untuk berziarah, baik itu dari desa Ngemplak Kidul sendiri maupun dari
luar desa Ngemplak Kidul. Selain pada hari peringatan tersebut, di makam mbah
Ronggo juga tidak sepi oleh pengunjung untuk berziarah dan pada puncaknya yaitu
setiap malam jumat wage. Para peziarah disini tidak mengharapkan berkah yang
datang dari mbah Ronggo tersebut melainkan mengharapkan berkah dari Allah SWT
melalui waliyullah yaitu Syeh Ronggo Kusumo. Jadi masyarakat di desa Ngemplak
tidak menganggap kalau hal tersebut syirik karena mereka tidak meminta-minta
kepada mbah Ronggo tetapi tetap meminta-minta kepada Allah dengan perantara
mbah Ronggo.
Di makam mbah Ronggo ini terdapat masjid yang biasanya
digunakan para santri untuk menghafal Al-Qur’an dan digunakan para peziarah
untuk membaca tahlil dan yasin. Biasanya para peziarah sangat khusu’ dalam
berdo’a bahkan sampai ada yang terisak-isak menagis. Mereka yakin bahwa do’a
mereka akan dikabulkan oleh Allah melalui perantara mbah Ronggo. Di kompleks
makam mbah Ronggo ini juga digunakan oleh masyarakat desa Ngemplak Kidul
sebagai pemakaman umum bagi masyarakat desa Ngempalk Kidul sendiri. Masyarakat
desa Ngemplak Kidul sangat menghormati dan mengagumi perjuangan mbah Ronggo
dalam menyebarkan agama Islam di desa Ngemplak Kidul. Oleh karena itu, setiap
tanggal 10 Sapar diadakan Khoul Syeh Ronggo Kusumo.
Makam Syeh Ronggo Kusuma
• Lokasi Di Desa Kajen Kec.
Margoyoso. Tepatnya terletak
di Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso,Kabupaten Pati, sebelah Barat Desa Kajen
kurang lebih 2 KM.
• Obyek
wisata yang dikunjungi Makam dan Masjid.
• Waktu kunjungan 60 menit (09.15 s/d 10.15)
• R. Ronggokusumo merupakan keturunan dari Sultan Demak, sebelum Membuat Masjid dan mengajarkan agama islam beliau adalah kepala perampok yang menjadi pengawasan dan buronan dari Sunan Mangkurat. Setelah Beliau bertemu dengan K.H. Achmad Mutomakin kemudian disuruh membuka hutan dan diajari temtang agama Islam sehingga tabiatnya berubah menjadi baik.
• Waktu kunjungan 60 menit (09.15 s/d 10.15)
• R. Ronggokusumo merupakan keturunan dari Sultan Demak, sebelum Membuat Masjid dan mengajarkan agama islam beliau adalah kepala perampok yang menjadi pengawasan dan buronan dari Sunan Mangkurat. Setelah Beliau bertemu dengan K.H. Achmad Mutomakin kemudian disuruh membuka hutan dan diajari temtang agama Islam sehingga tabiatnya berubah menjadi baik.
Sejarah
Syeh Ronggo Kusuma
Desa Ngemplak kidul dibuka oleh Mbah Ronggo Kusumo
beserta para murid dan keluarganya. Mbah Ronggo Kusumo adalah salah satu wali
lokal yang menyebarkan agama Islam. Raden Ronggokusumo adalah putera Ki Agung
Meruwut yang masih keponakan KH.Ahmad Mutamakkin. Ia diperintahkan untuk
membuka tanah (menebang hutan) disebelah barat Desa Kajen. Perintah beliau
dilaksanakan penuh tanggungjawab sehingga dalam waktu yang singkat (konon dalam
waktu satu malam) tanah tersebut terlihat emplak-emplak, sehingga oleh beliau
dinamai desa Ngemplak. Raden Ronggokusumo menetap di Desa tersebut dan berjasa
besar dalam menyiarkan Agama Islam. Masyarakat desa Ngemplak Kidul dan
sekitarnya sangat menghormati Mbah Ronggo Kusumo. Hari wafat beliau, 10 Sapar
(Arab: Safar) diperingati sebagai "Khaul Syekh Ronggo Kusumo."
Berbagai acara dilakukan dalam bulan Sapar. Hari Ulang Tahun atau Haul yang
selalu dibanjiri oleh para zairin dari berbagai daerah. Diperingati dengan
penuh hidmat.
Di setiap tanggal 10 Saphar peringatan itu dilakukan “Khoul
mbah Ronggo” biyasanya dilakukan acara mbukak slambu yang artinya
melelang kain kafan yang dipakai untuk menghias kuburnya selama 1tahun. Dan
menggantinya dengan kain kafan yang baru, seterusnya seperti itu tiap tahun.
Selain acara tersebut juga dimeriahkan dengan karnaval desa “Drumband” yang diikuti
oleh beberapa RT yang ada di desa Ngemplak Kidul. Sekitar 23 Rt mengikuti acara
tersebut, selain itu juga masih ada tontonan lain diantaranya: Wayang,
Pengajian, Ketoprak, Dangdutan, Barongan dll. Pada hari peringatan tersebut,
biyasanya makam mbah Ronggo banyak di kunjungi oleh orang untuk berziarah
kubur, mereka bukan untuk meminta-minta ke mbah Ronggo melainkan mendoakan mbah
Ronggo juga mendoakan saudara-saudaranya yang juga telah meninggal dunia. Bukan
hanya pada waktu khoul saja makm mbah Ronggo ramai tetapi pada hari biasa atau
hari kamis malam jumat biyasanya makam mbah Gonggo juga ramai dikunjungi para
peziarah untuk mendoakan saudar-saudarnya yang telah meninggal dunia. Hal
tersebut sudah melekat dan sulit untuk dihilangkan dari kehidupan masyarakat.
Rabu, 11 Desember 2013
Jenenge Satriya lan Kesatriyane
Jenenge Satriya Lan Kasatriyane
- Raden Werkudara satriya ing Jodhipati
- Raden Janaka satriya ing Madukara
- Raden Nakula satriya ing Gumbiratalun / Bumi Retawu
- Raden Sadewa satriya ing Sawojajar
- Raden Gathotkaca satriya ing Pringgodani
- Raden Antareja satriya ing Jangkar Bumi
- Raden Antasena satriya ing Sapta Pertala
- Raden Abimayu satriya ing Plangkawati
- Raden Irawan satriya ing Yasarata
- Raden Setyaki satriya ing Lesanpura
- Raden Setyaka satiya ing Tambak Mas
- Raden Sombo satriya ing Parang Garudha
- Raden Udawa satriya ing Widarakandang
- Raden Thistajumpena satriya ing Cempalareja
- Raden Jayajatra satriya ing Brawa Keling
- Raden Kartamarma satriya ing Ngadilangu
- Raden Aswatama satriya ing Sokalima
- Lesmana Mandra Kumara satriya ing Saroja Binangun
- Raden Dursasana satriya ing Bajar Jumput
- Raden Sengkuni satriya ing Plasajenar
- Raden Anoman satriya ing Kendhali Sada
- Raden Kumbakarno satriya ing Panglebur Gangsa
Kamus Basa Jawa Ngoko, Krama, Krama Inggil lan Basa Indonesia
NGOKO KRAMA KRAMA INGGIL/ALUS BHS. IND.
A
aku kula adalem/kawula saya
akon aken dhawuh/utus menyuruh
anak anak putra anak/putra
anut tumut dherek ikut
apa menapa menapa apa
aran nama asma nama
asor awon andhap jelek
ati manah penggalih hati/piker
awak badan sarira badan
aweh suka paring/nyaosi/ngaturi member
ayo mangga suwawi* mari/silakan
B
bali wangsul kondur pulang/kembali
batur rencang abdi pramuwisma
bojo semah garwa suami/istri
brengos rawis gumbala* kumis
butuh betah kersa butuh
D
dheweke piyambakipun
panjenenganipun dia/beliau
dhengkul dhengkul
jengku lulut
duwe gadhah kagungan punya
E
embuh boten mangertos duka tidak tahu
endhas sirah mustaka kepala
enggo angge agem pakai
enom enem mudha/timur muda
epek pendhet pundhut pinta
G
gawa bekta asta bawa
gawan bekta ampilan* bawaan
gawe damel
ngasta/yasa buat
nyambut gawe nyambut damel ngasta bekerja
gelem purun kersa mau
geni latu brama* api
gugah gigah wungu bangun
gugu gega ngetokaken menuruti
gunem ginem ngendika berkata
I
iket udheng dhestar ikat kepala
imbuh imbet tanduk tambah
irung irung grana hidung
J
jaga jagi reksa jaga
jaluk suwun pundhut pinta
jamu jampi usada obat
jaran kapal kuda/turangga kuda
jare caiyosipun ngendikanipun katanya
jarit sinjang nyamping kain
jeneng nama asma nama
jupuk pendhet pundhut ambil
jungkat serat pethat sisir
K
kalah kawon kasoran* kalah
kandha cariyos ngendika berkata
karep kajeng karsa kemauan
kathok sruwal lancingan* celana
kena pikantuk kepareng boleh
keris dhuwung wangkingan keris
klambi rasukan ageman pakain
ko/kok sampeyan panjenengan engkau
kon ken utus suruh
kongkon kengken utus/dhawuh disuruh
kowe sampeyan panjenengan engkau
krungu mireng midhanget mendengar
kubur petak sare kubur
kuru kera
susut kurus
L
lair lair miyos lair
laku lampah tindak jalan
nglakoni nglampahi nindakaken melakukan
nglakoni nglampahi nindakaken melakukan
lanang jaler kakung laki-laki
lara sakit gerah sakit
lawang konten kori pintu
lunga kesah tindak pergi
M
maca maca maos baca
mangan nedha dhahar makan
manggon manggen lenggah tempat tinggal
mari mantun dhangan sembuh
mata mripat paningal mata
mati pejah/tilar seda meninggal
mayit jisim layon mayat
melu tumut ndherek ikut
menyang dhateng tindak pergi/ke
meteng wawrat/ngandheg mbobot/nggarbini hamil
minggat kesah lolos/kentar minggat
N
nesu srengen duka marah
ngising bebucal bobotan hajat
besar
ngreti ngertos priksa/pirsa tahu
O
oleh angsal kepareng/pikantuk boleh
omah griya dalem rumah
omah-omah emah-emah krama nikah
omong ginem/sanjang ngendika berkata
P
pangan tedha dhaharan makanan
pek pendhet/suwun pundhut pinta
pelanangan pejaleran kalam* penis
piker manah penggalih piker
R
rambut rambut
rikma rambut
rewang rencang
abdi pembantu
rungu pireng midhanget dengar
S
sadulur sedherek sentana* saudara
sikil suku
sampeyan kaki
silih sambut/ngampil pundhut ngampil meminjam
slamet wilujeng sugeng selamat
suguh segah sugata jamuan
susah sisah sungkawa/sekel sedih
T
tak/dak kula adalem/kawula saya
takon taken nyuwun priksa/
mundhut
priksa
dangu bertanya
tambah jampi usada jamu
tangi tangi wungu bangun
teka dhateng/dumugi rawuh hadir
tilik tuwi tinjo tandang
tonton tingal priksa lihat
tuku tumbas mundhut beli
tunggang tumpak nitih naik
turu tilem sare tidur
tutur sanjang/criyos parik priksa/caos priksa berkata
tuwa sepuh yuswa tua
U
ulih antuk kondur pulang
undang timbale aturi undang
untu waos waja gigi
urip gesang sugeng hidup
utang sambut/ampil nyuwun/mundhut ngampil hutang
W
wadon setri putrid/wanita perempuan
waras saras dhangan sembuh
warisan tiliran pusaka* warisan
wedang benteran unjukan miniman
weruh sumerep priksa melihat
weweh suka maringi/nyaosi/ngaturi memberi
wetu wedal wiyos keluar
wicara wicanten ngendika berkata
wong tiyang priyantun orang
http://kuliah-bahasa-jawa.blogspot.com/2012/08/kamus-basa-jawa-ngoko-krama-krama.html
Langganan:
Postingan (Atom)